Selasa, 22 September 2015

"Engkau"


Gubahan PujaSenja
Mungkin
Untuk menyebutkannya saja susah
Harus berkali-kali mengulang
Aku sampaikan niat ini
Mungkin lekas kau mengerti
Mingku lekas kau lepaskan
Aku dari belenggu nista ini
Dimana aku akan mati kelak
Darimu aku mengerti
Akan bahaya-bahayanya
Virus yang belenggu aku
Inginkan aku su'ul khatimah
Dalam dekapan kematian
Dan kau pun datang hancurkan
Apa-apa yang kutakutkan
Virus kehidupan itu
Inginkan kuembali aku hidup
Dan matikan aku dalam pada Husnul khatimah
(PA Aisyiyah, 210915)
‪#‎PujaSenja‬

Enyahlah




Manusia...
Inginkan hidup bahagia
Fitnah kadang tak elakkannya
Tak pedulikan iringan mayat hidup yang terluka
Akan dosa dan kebohongan belakanya
Hanya demi harta, tahta, relakan iman
Untuk dunia tak jelas. Fana
Lupa akan akhirat yang abadi
Jangan! sekali-kali jangan
Apa yang jelas, jangan kaburkan
Namun negkau hiraukan kata-kata jangan itu
Namun engkau abaikan
Apa yang telah sampaikanNya
Hanya akhirat yang pasti tunjukkan semuanya
(PA 'Aisyiyah 210915)

LAN...¿



Gubahan Puja Senja
Lewat mimpi-mimpi indah ia datang
Ingin kenali isi hati dan pikiranku
Seakan menjamah ragaku yang tak hidup, tak juga mati
Aku tak mampu tuk tolak datangnya
                                                      Tak dapat ku kenali dia
                                           Lewat pagi berteteskan embun
                 Lewat merdunya pagi pada suara-suara burung
                               Juga pada tetesan senyum dan murung
                    Dia, tersembunyi di balik bunga-bunga mekar
              Tersenyum dari pagi timur hingga tepi barat senja
                                    Malam datang ia kembali sembunyi
               Masuk dalam mimipiku bagai bintang bertaburan
                Selipkan senyum abadi pada sudut-sudut mimpi
Nyenyakkan tidurku menyambut pagi
Untuk senyum abadi yang tak pernah
Rusak oleh kabut-kabut senja
...
(PA 'Aisyiyah. 210915)

Minggu, 20 September 2015

Ajari Aku


  Gubahan PujaSenja
Ajari aku matematika
Agar lekas pandai ku berhitung
Berapa kali bibir ini menyebut namamu
Lekas pula ku logikakan arti senymmu
...
Ajari aku geografi
Agar tahulah aku ilmu
Jarak, bujur dan lintang
Bisalah aku dasarkan jarak yang membentang
Tahulah aku derjat ketinggian cintamu
Tahulah aku lautan yang pisahkan kita
Tahulah aku, luas benua yang ku pijaki
Luaslah samudra ku renugi
Tuk jemput bidadariku.
...
Ajari aku tentang dirimu
Lewat sosiologi, psikologi
Agar lekas ku paham diri ini
Arti hidup di sampingmu
XII IPS, Senin 14 September 2015

Sabtu, 19 September 2015

Menyamar serupa awan Ia datang bulan September

   Gubahan PujaSenja
Tak biasanya, hujan tak lagi menangis di kotaku
Tak lagi tertawa di atas daun- daun
meresap batang, Tak lagi mengundang tawa
anak-anak kecil di taman bunga.

Awan-awan terasa dekat mengelilingi
Cakrawalaku, bukan awan sembarang awan
Awan tutupi singgalangku, talang, dan tuiku

Dia bukan awan, tapi serupa awan
Menguap di depan mata, kumuhkan mata
Kumuhkan kotaku. Ia bukan awan
Ia serupa awan. Ia datangi kami
Menjelang adha, ia temani kami
Yang tak harapkan datangnya
(Sabtu, 19 September 2015. Tengah study English with Mirs. Ita “Lokal XII IPS”)
‪#‎PujaSenja‬

Malam-malam Manja




   Gubahan PujaSenja
Di suatu malam gelagat ia datangi aku
Lewat suara-suaranya, jadikan satu kenangan
Malam-malam berikutnya, malam masih
Bertemankan kabut, di sebuah penjara putih aku
Duduk ditemani suaranya, dalam persembunyian
Gelap, aku lantunkan, ia lantunkan
Suara perak keemasan, Stinky penuh harap
Mungkinkah kita kan slalu bersama
Dalam jarak yang pisahkan
Satu malam ia bicara, tanyakan arti seorang wanita
Ku jelaskan wanita, juga seorang pria.
Satu malam ia tanyakan arti anata. Kamu jawabku
Tanya ia pula watashi. Aku jawabku.
Tanya ia woaini. Aku sendiri tak tahu
Ucapnya PR dari seorang laki-laki. Bukan
Guru, aku cemburu! Cemburu? Pantaskah?
Berulang ia tanyakan. Aku masih jadi abangnya kah?
Ku jawab masih, menutupi kecemburuan ini.
Ku balas tak cemburu, suruh ia tuk tidak cemburu
Aku abangnya. Dia adikku. Adotive  family kataku
Untuk seorang adik yang icak-icak
Dalam hati ku berdoa dia kelak jadi keluarga intiku
Dia kan jadi dokter, teruntuk anakku bila sakit
Kan jadi guru satu anakku yang baru belajar
Tutuplah kata pada pertiga malam Minggu
Berharap ia  impian diatas impian apa yang ia ucap, yang aku ucap
Ter-ijabah dan catatlah oleh malikat
Ku ingin hidup pada dua puluh tahun ke depan
Menatap ia, pada jas putih (Dokter)nya
Menyandang tittle Dokter juga ustadzah
Impiannya
Aku juga. Entahlah
Mau apa aku?
Doakan saja akan disampingnya
*Tooth… tooth..tooth (Telepon terputus)
(PA ‘Aisyiyah, 190915)

Sabtu, 12 September 2015

[Fiksi]

[PujaSenja]
Setiap hari dia beribadah kepada tuhannya. Tak luput doa, sembah dan sujudnya. Iringan irama khusyuk-masyuk mengikuti irama ibdahnya. Mulai dari kewajiban hakiki hingga kewajiban khusus ia lakukan. Sepertinya, tuhan amat sayang padanya.
Di sekolah, ia anak teladan. Rapi pakaiannya, pintar ia, ceria orangnya, serta pandai bergaul. Tak ada yang membencinya. Guru pun tak segan membantu dan menyayanginya melebihi dari yang lain. Bahkan lebih dari anak kandung sendiri. Sejawat yang lain pun tak cemburu.
“Namanya juga anak jenius. Baik hati juga. Wajar!” Komentar temannya. Ia tak berbangga sedikit pun. Baginya, jika baik maka baik didapat. Jika buruk, buruk juga didapat. Begitu ajar ayahnya.
Jum’at, ia datangi masjid Jami’. Duduk pada shaf terdepan mengalunkan ayat suci. Pakaiannya, baju putih berbatik coklat, sarung putih kotak-kotak hitam. Ditambah  peci hitam di kepalanya. Pas tiba waktunya, dia yang mengumandangkan adzan. Memanggil kaum Adam sekitar masjid tersebut mendengarkan khutbah dan menunaikan kewajiban. Tahukah engkau Bilal? Begitu merdu suaranya. Merdu semerdunya merdu. Ia, dikenal Ustad muda di kampungnya.
Seorang tua, tampak jelas pada keriputnya. Ibadahnya tak luput jua. Kerjanya sangatlah suci. Menjaga tempat ibadah. Pastilah ia ahli ibadah jua. Menjaga, tak luput dari membersihkan dan menyambut setiap jemaat yang datang. Semua orang turut bangga padanya.
Sang ahli ibadah, penjaga tempat ibadah, tanpa harap upah. Begitulah dia. Barang sekali-dua jamaah berbaik hati padanya. Menafkahkan sekotak kue, sekarung beras, sebuah amplop jua. Kadang ia tolak, namun juga ia terima. Menolak sebab takut berharap. Menerima sebab segan.
Dia ahli ibadah, banyak juga orang bertanya padanya.
“Bagaimanakah tuhan akan melihat dan mengasihi kita?”  ucap jamaahnya suatu Minggu.
“Maka berfirmanlah tuhan; Tuhan akan menampakkan dirinya dari jauh. Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal.” Begitu ucapnya. Menodongkan telunjuk ke langit.
Satu firman, kadang berbuah sebuah amplop. Seringkali terjadi. Sering ia tolak. Karena segan ia terima. Bukan maksud jual beli firman tuhan. Niatnya dalam hati. Matinya baik. Pada Jumat agung. Petinya dikhususkan, ramai jemaat mendatangi makamnya. Usia enam pulud dua tahun akhir pengabdiannya. Makamnya, dipenuhi dua-tiga kuntum mawar.
Sayangnya, seorang anaknya tak mengunjungi makamnya. Sebab terputuslah mereka.
… (To Be Continiued)

Kamis, 10 September 2015

Taman Bunga

suatu hari di taman bunga, cinta sedang bersemi diiringi kumbang sebagai pengawalnya. pertanyaannya, akankah mampu cinta mekarkan bunga-bunga di taman itu?
‪#‎Absurd‬ smile emotikon
‪#‎PujaSenja‬