Gubahan
PujaSenja
Di suatu malam gelagat
ia datangi aku
Lewat suara-suaranya,
jadikan satu kenangan
Malam-malam berikutnya,
malam masih
Bertemankan kabut, di sebuah
penjara putih aku
Duduk ditemani
suaranya, dalam persembunyian
Gelap, aku lantunkan,
ia lantunkan
Suara perak keemasan, Stinky
penuh harap
Mungkinkah kita kan
slalu bersama
Dalam jarak yang
pisahkan
…
Satu malam ia bicara,
tanyakan arti seorang wanita
Ku jelaskan wanita,
juga seorang pria.
Satu malam ia tanyakan
arti anata. Kamu jawabku
Tanya ia pula watashi. Aku jawabku.
Tanya ia woaini. Aku sendiri tak tahu
Ucapnya PR dari seorang
laki-laki. Bukan
Guru, aku cemburu! Cemburu?
Pantaskah?
Berulang ia tanyakan. Aku
masih jadi abangnya kah?
Ku jawab masih,
menutupi kecemburuan ini.
Ku balas tak cemburu,
suruh ia tuk tidak cemburu
…
Aku abangnya. Dia adikku.
Adotive
family kataku
Untuk seorang adik yang
icak-icak
Dalam hati ku berdoa
dia kelak jadi keluarga intiku
Dia kan jadi dokter,
teruntuk anakku bila sakit
Kan jadi guru satu
anakku yang baru belajar
…
Tutuplah kata pada
pertiga malam Minggu
Berharap ia impian diatas impian apa yang ia ucap, yang
aku ucap
Ter-ijabah dan catatlah
oleh malikat
Ku ingin hidup pada dua
puluh tahun ke depan
Menatap ia, pada jas
putih (Dokter)nya
Menyandang tittle
Dokter juga ustadzah
Impiannya
Aku juga. Entahlah
Mau apa aku?
Doakan saja akan
disampingnya
*Tooth… tooth..tooth
(Telepon terputus)
(PA ‘Aisyiyah, 190915)