Sebuah sajak yang entah kau tersenyum membacanya.
Buat
dinda seorang. Tak perlulah sebut nama. Cukup bilang dinda sahaja. Ini kanda
yang nakal kadang merajuk sesuka hati dan kembali tersenyum padamu. Ini kanda
yang kadang buat dirimu sebal dan meminta maaf tanpa sebab dan tujuan nan
jelas. (Sebenarnya, tujuannya ialah biar dirimu baik lagi padaku). Ini kanda,
dinda. Kanda yang sering jahil membuatmu rasanya ingin memukulku jika ada di
sampingku. Engkau ingat tak? saat tanyakan sedang apa diriku? saat ku jawab
bahwasanya aku memikirkan seseorang?
Kemudian
engkau tanyakan kebolehanmu untuk cemburu pada orang yang aku pikirkan.
Ingatkah dirimu akan pertanyaanku kemudian. “Kenapa engkau cemburu, adakah
dirimu memikirkan diriku selama ini?” Maka, berjuta kata engkau sampaikan
padaku. mulai dari kehilangan kosentrasimu dalam bekerja sebab hal
memikirkanku. “Adakah benarnya?” (Aku pun tidak tahu pasti). Lalu, kau tanyakan
sekali lagi “Bolehkah aku cemburu padanya? siapakah gerangan yang kanda
pikirkan?”
Aku
tersenyum hendak menjelaskannya padamu. memikirkan bagaimana reaksimu jika itu
ku tulis. “Tidaklah boleh engkau cemburu padanya. sebab dia juga memikirkan aku
katanya. Sungguh, Dirimulah yang aku pikirkan. Tidak akan ada yang lainnya.”
Mungkin
engkau marah, Mungkin engkau sebal sebab ku kerjai. Sungguh, tak da niat pun
aku menjahilimu, membuat engkau marah dan sebal. Hanya itu yang bisa aku
lakukan membuat suasana agar seru jalannya. Ah, Aku semakin terkenang
menuliskan ini. Apalagi saat mendengar ceritamu. Apalagi, saat ku tahu engkau
tak bosan mendengarkan aku bercerita. Malah, engkau yang memintanya.
Aku
semakin tak mengerti, saat aku dekat denganmu. Aku bertanya pada tuhan.
Bukankah orang yang baik akan di dekatkan dengan orang baik pula. dirimu,
keluarga berada rupanya. Keluargamu intelek semua, termasuk dirimu. Sementara
aku, Apa? Aku hanyalah pemuda yang terombang ambing di tengah lautan tak
berujung. Berharapa bertemu dengan orang yang akan sama-sama berjuang dengan
ku. Tapi tidak ternyata. Aku dipertemukan dengan dirimu yang jauh lebih dariku.
Dinda, aku berani kadang, menyalahkan tuhan yang telah membuat orang yang lebih
baik bertemu dengan diriku... yang mungkin tidak sebaik dirimu.
Aku
mungkin bahagia, bertemu dengan engkau yang jauh lebih baik dariku. Tapi
engkau? apakah bahagia bertemu dengan diriku, yang jauh terpuruk darimu.?
Di lain
sesi, pernah juga kau bilang nasihat untukku. Jangan merendah diri. Maka aku
berpikir. ini bukan soal tinggi hati, rendah diri. Tapi aku menjelaskan fakta.
Ditanyakan pada siapapun, engkau jauuh lebih. dariku. Namun, pertanyaanku kau
jawab jua akhirnya. Meski tak ada aku tanyakan. Perihal bahagia, dan senang
(Sttt! bahagia dan senang apa bedanya?) Akhirnya kau katakan bahwa engkau
senang mengenali aku. Harapanku, kata-katamu itu bukanlah hanya untuk
membesarkan hatiku. Tapi memang dari hatimu, barulah aku benar-benar bahagia.
Kita
pernah berdebat masalah maaf. siapa yang memaafkan dan siapa yang meminta maaf.
Kita tidak pernah bertanya siapa yang harus meminta maaf. Tapi kita selalu
sama-sama minta maaf. Aku pernah bilang, “Tidak Ada kata maaf untukmu” saat
engkau memintakan maaf padaku. Engkau bertanya kemudian, “Dengan apakah aku
harus membayar agar ku dapat maafmu?” Maka ku jelaskan lagi, “Sudah ku katakan,
tidak ada maaf untukmu. Sebab, tidak ada yang harus aku maafkan darimu. Jadi,
percuma sahaja aku memberi maaf. Jadi, Akulah yang seharusnya meminta maaf.”
Kau
bilang aku jahil. Engkau sebal lagi. Aku tersenyum lagi. Engkau merajuk lagi.
Engkau izin untuk tidur. Maka aku sampaikan sebait lirik Drive “Bersama
Bintang” yang aku rubah. untukmu,
“Tidurlah...
Selamat siang... lupakan saja lah aku.... mimpilah... dalam tidurmu...
bersama...”
Engkau
bertanya, “Bersama Siapa?” lalu ku jawab “Bersama pilihan hatimu. Bintang
kehidupanmu.” Engkau bertanya lagi, “Akankah kanda berharap itu dirimu?”
Semakin ku terbuai dengan kata-katamu. Tak inginku menuliskannya iya. namun
hati ini sangat berharap. “Semoga saja. Jika memang ditakdirkan itu. aku tak
kan berharap lebih.”
Sesuatu
yang kebetulan saja itu, apakah terjadinya sekali-sekali saja, berkali-kali,
atau setiap hari. Kadang ku berpikir aneh. kenapa sesuatu yang aku rasa itu
kebetulan sahaja terjadi berulang kali saat aku mengenalimu.
Siangnya,
Omm Hen tanpa kabar lima tahun lamanya. Telah beristrikan seorang perempuan
cantik, dan telah memiliki seorang anak. Secara kebetulan sahaja aku menemuinya
pada sebuah taman. dan telah aku ceritakan padamu, yang aku bayangkan saat itu
adalah sebuah masa lalu dan masa depan. Masa lalu, kala aku jadi anak laki-laki
yang di pangkuan Om Hen. Masa depan, ialah aku kelak menjadi, Omm Hen. Akankah,
dirimu menjadi perempuan yang disamping Ommku itu?
Berlanjut
sorenya, engkau bercerita tentang dirimu di taman bunga. Sendirian. Engkau
katakan engkau melihat sepasang kupu-kupu terbang di hadapan matamu. Engkau
bilang cemburu pada mereka. Ah. “Andaikan Kanda juga di sini. pastilah Dinda
tidak akan cemburu padanya.” begitu pesanmu padaku.
Aduhai...
Buatmu, Dinda. Pengisi hari-hariku meski dari jauh sana. Aku di sini.
Aku
jelaskan, Engkaulah orang pertama yang memanggilku Kanda. Engkau juga katakan
pada malam itu. Aku orang pertama yang memanggilmu Dinda.
Ada saja yang berbeda saat kita bertutur bersama :)
Kamis,
17 Desember. Hari itu engkau ucapkan salam kembali kepadaku. Setelah kemarin
engkau hendak undur diri untuk bercerita denganku. Mungkin engkau lelah waktu
itu. Aku sangat mengertinya. sebab, sudah telalu sering kita bercengkerama
lewat media ini. facebook. Maka Paginya, Engkau mulai kembali
pembicaraan kita dengan permulaan yang tak bosan kita ulang-ulang. Salam,
kemudian bertanya kabar.
Ternyata,
kata-katamu kemarin memanglah benar dari hatimu. Engkau tidak akan meninggalkan
daku untuk selamanya. hanya kira-kira sembilan belas jam kita tak berkabar.
Kembali kau mulai cerita. Tahukah engkau, sebenarnya aku sudah jenuh untuk
selalu membalas Chatingan yang kau kirimkan padaku. Takut akan Diabetes
menggerogoti tubuhku saat menatap foto yang engkau kirimkan. senyummu itu lho,
Amat manisnya. (hihihi)
Maka ku
ketikkan dua belas digit angka yang nantinya bisa sebabkan engkau dengar
suaraku. Semoga saja, engkau tidak diam dan aku pun bisa mendengar suaramu.
Sungguh! Aku bosan dengan chatingan beberapa minggu berbilang satu bulan lebih
ini. Chat yang engkau kirimkan itu, membuat rindu pada diriku semakin tebal.
Rasanya, tak akan mudah terobati kecuali denganmu.
Kau
ungkapkanlah bahwa sebenarnya engkau ingin menekan dua belas digit angka yang
aku kirimkan itu. tapi urung. Kau berkata “Suatu saat.” Engkau menyuruh aku
menahan rasa rindu ini. Apa? Rasa rindu? Kapan aku mengatakan perasaan itu
kepadamu? Ah, Engkau tahu isi hatiku?
Engkau
tak lupa jua mengirimkan dua kali dua belas digit angka kepadaku. dua belas
digit pertama sebenarnya sudah aku cari pada riwayat facebookmu. Setelah
menunggu beberapa hari, Rindu itu engkau tepis juga sedikit demi sedikit. Meski
tidak semuanya. Kita mulai saling berbicara.
Selalu
aku tak lupakan ucapan itu setiap memulainya. mulai bicara, memulai chat
(Sekali kadang juga lupa) Maka ku dengarkan jawaban dari suaramu yang seperti
anak-anak. Membuatmu kembali sebal saat ku katakan itu. “Suaranya mirip
anak-anak,” Engkau tertawa, engkau merengek. Membalas mengatakan bahwa suaraku
seperti suara bapak-bapak. (Berarti tidaklah apa-apa. Seorang anak siang itu
baru saja berbicara dengan anaknya yang jauh disana) Hahahaha.
Nah,
Yang aku kirakan itu ternyata sedikit jauh berbeda adanya. Ku kirakan rindu ini
akan tertepis saat mendengar suaramu... berbicara padaku, bernyanyi untukku,
panggilan kanda yang mungkin spesial. Hanya untukku. dan... Ah, Semua itu tidak
membuat rinduku hilang. Tapi malah menjadi jadi. Dulunya, saat Chating, Aku
rindu suaramu, Maka saat di telepon, aku rindu... Ingin bertemu kamu.
Kembali
pada dinding chat yang tak akan kita tinggalkan. Sebab itulah dinding pertama
kita berkenalan. Engkau kembali bercerita tentang cerah disana, tentang hujan
juga tak lupa. Dan, perasaanmu juga tak lupa engkau curahkan.
Kau
katakan disana sejuk udaranya. Engkau katakan seharusnya aku ada di sana
bersamamu menikmati udara itu. menikmati pemandangan itu. Ah, tahukah engkau?
Itu membuatku semakin rindu menggebu-gebu. Apalagi, jika memang dari hati
engkau mengatakannya. Pastilah aku teramat inginnya.
Lalu,
kenakalanmu itu. menggemaskan sekali. Hari dingin tak pakaikan baju berkain
tebal. sudah jelaslah masuk anginnya. lalu, engkau ajak si kecil yang
memanggilmu mama bermain hujan. “Sakit baru tahu.” Tapi, kenakalan itu sungguh
kau balut dengan permintaan maaf lagi. Ku tolak lagi maafmu. Ku jahili lagi.
Tertawa lagi kitanya. Ah, “Tak terbayang mesranya,” katamu.
Mesra?
Ah, ia kah? Dalam jarak saja kita masih bisa saling berbagi tawa. Bagaimana
jika bertemu nanti? “Sangat tidak terbayangkan.”
Tak
akan penat tangan ini menulis jika sajak masih saja tertera di bumi ini. Tak
akan sampai lelahnya, jika kisah aku masih bersamamu. Hingga detik terakhir ku
dengar suaramu. Bahkan hingga hilangpun, cerita itu akan terus menari-nari di
panggung dunia ini. Bagai syair indah yang dinyanyikan. Syair itu akan kita
nyanyikan meski musiknya telah terhenti.
Ya,
semusim berganti. selaut terengkuh kembali. meski belum sampai aku pada
puncak-puncaknya, tapi aku merasa berada pada puncaknya. Itu, saat kita
bercerita. Itu, saat engkau tertawa, Dan itu... Saat dikau terdiam.
Rasanya,
telah lama Tak Aku panggil engkau, Bunga. Sementara baru saja dirimu
menyentuhku dengan sebutan Kumbang. Ah, kemana saja aku sebagai kumbang? Tak
pengertian pada bunganya. Maka ku tanyakanlah bagaimana kabar bungaku. Sedang
apakah dia? Engkau berbalas bahwa baiknya kabar bunga dan engkau katakan bahwa
engkau baru saja berhias. memakaikan rias pada wajahmu. Mendengar itu saja, Aku
tak bisa bayangkan cantik dirimu.
Maka
malam itu ku puji dirimu “Tanpa Berhias saja dirimu aduhai. Apalagi tidak
berhias, Duhai bunga.” begitu tuturku. Engkau membalas dengan permintaan lain
“Jangan dipuji bungamu seperti itu kanda. Sungguh, Bungamu sangat ingin
mendengar sesuatu yang belum pernah ia dengar, Apakah itu? yaitunya pujian
tentang kekurangan dirnya.”
Aih.
Aku tidak bisa mengucapkannya. Sebab yang aku lihat tak ada cela sedikitpun
tercoreng di dahimu. Tapi, jika tak aku balas, takutnya kau akan bertanya lagi
berikutnya. Maka simple jawabanku. “Dirimu telah mubazir, Dinda.”
Engkau
bertanya lagi, “Mubazir kenapa?”
“Ya.
seperti yang daku katakan tadi. Dirimu sudah cantik aduhai. masih juga memakai
Make up yang banyak dipakai orang untuk mempercatik dirinya. bukankah itu
mubazir bagi dirimu yang sudah cantik adanya. Maka tak ada, lah gunanya engkau
berias. Engkau sudah cantik, Bungaku.”
Maka
kau kirimkan emotikon senyum. mungkin tersipu malu dengan kataku. Hahaha. aku
tertawa. Saat temanku membaca kalimatmu. “Bukakah di sini maknanya Caci saja
aku, bang” ungkapnya padaku. Disana aku balik berpikir akan kebenarannya.
membaca kembali berulang-ulang. “Pujian tentang kekurangan dirnya” Tidak sadar
akan makna itu. Maka aku berpikir. “Mana pernah ada Kumbang mencaci Bunganya.”
Ah,
Jika begitu, tak akan aku sebutkan. Sebab tak ada yang harus aku sebutkan.
...
Saat
engkau hendak tidur. Katamu. Kau tuliskan sebuah pesan,
“Dinda Akan tidur, Kanda. Adakah sesuatu yang ingin engkau
katakan padaku? Sesuatu yang spesial yang masih kau pendam.”
Sebenarnya,
ingin kukatakan sesuatu yang amat kau mengerti mungkin. tapi urung ku katakan.
karena aku sadar siapa aku dan siapa engkau. Biarlah angin yang akan
menyampaikannya pada relung hatimu. Biar waktu yang menjelaskan apa yang aku
ingin sampaikan padamu
(Aku
Mencintaimu. Aku sangat menyayangimu. Ku tak ingin ada penggantimu dan tak ada
penggantiku dalam dirimu)
Akankah
kau mengerti, tanpa aku katakan semua itu?
Kadang
Ada yang menangis. Merasa tertinggalkan. Namun memilih diam saat melihat orang
yang meninggalkannya bahagia.
Saat
dindingnya tak lagi di isi tawa dan canda, berbagi rindu oleh dua insan
tersebut. Beralih pada saling suara. Kita terkadang tidak sadar itu.
Lihatlah!
dulu betapa rajinnya kita mengisi dindingnya dengan kata-kata. Memang tidak
secara langsung kita katakan rindu. Tapi, melalui sepasang kupu-kupu yang
mencemburui, lewat langit yang terkadang tiris, lewat sepasang kekasih beserta
anaknya, juga lewat langit cerah tentunya.
Berulang
kali kejadian itu terulang. Atau entah apa yang dapat dikatakan tentang hidup
ini. Muncul pertanyaan dalam hidup ini. “Sesuatu yang kebetulan itu, wajarkah
terjadi berulang kali?” ibarat seorang penjudi amatir menang dalam suatu moment
pertandingan berjuta-juta bahkan miliaran hadiahnya. membuat penjudi ulung
ternganga dan tercengang. membuat langit yang dulunya biru agak kelabu
warnanya. Disini beda. Bukan penjudi sejatinya. Namun para pujangga yang juga
punya cerita bersabda. “Ini kisah pertama yang aku dengar. Dua orang insan
secara berjauhan memiliki ceirta seperti itu. Aku tidak percaya.” Namun
bagaimana lagi. Percaya atau tidak, semua begitu adanya. Pujangga hanya
tersenyum malu. mengungkapkan ini sebuah ketidak adilan bagi tuhan. “Diri ini
telah lama mengelana belumlah dapat cerita itu. sementara ia yang baru beberapa
musim menyeduh kopi cinta telah mendapat biji kopi yang aduhai. Mungkin
saripati mulanya sangatlah bagus.” begitu jelasnya.
Saripati
pemula? Ya, aku rasa memang begitu. Saripati pemula yang kita masukkan ke dalam
gelas mungkin itu yang membuat kita bercerita indah. Lihatlah! Takarannya
begitu pas. Air panas yang dimasukkan juga tidak membuat retak sisi gelas.
Untuk diseduh juga tidak membuat bibir sakit menikmatinya.
Nah,
Kembali pada dinding yang cemburu. Aku tak dapat katakan ia cemburu sebenarnya.
Sebab dirimu tak akan mengerti. Dan, sekalipun pasti tak mengerti. Dia juga
telah rela untuk bersih kembali. “Masa lalu itu indah untuk dikenang,” simpulnya.
Maka ia berjanji untuk tidak menghilangkan kenangan-kenangan kita di
dindingnya. tentang cara kita bercengkerama yang amat romantisnya.
Aku masih merindu di sini. Sama seperti rindunya dinding itu di
isi kalimat-kalimatmu, dan kalimat-kalimatku. Berujung pada desakan kepada
waktu agar cepat menambah usia. Agar lekas pulalah kita bertemu. #Harapku