Senin, 04 Januari 2016

Kepada Langit

Duhai langit Jelaskan padaku tentangmu
jangan misterius seperti ini. engkau mendung seperti membawa segumpal kelabu. Hendak basahi kotaku. sejam kurang lima puluh menit daku menanti tangismu. namun tak jua datang. telah ku sembunyikan kain-kain lembab yang tadinya terjemur. takut akan basah kembali oleh tangismu.
Langit, kenapa dirimu misterius sekarang?
Kok hujan, Hujankan lah. biar aku kerumahkan kain-kain ini. dan bermandilah aku denganmu. Kok panas, panaskanlah! biar ku mandi jua nantinya. Mandi keringat.
#Langit hari ini Misterius
#PujaSenja

Sabtu, 02 Januari 2016

Testimoni Dinda (1, 2, 3, dan 4)



Sebuah sajak yang entah kau tersenyum membacanya.
Buat dinda seorang. Tak perlulah sebut nama. Cukup bilang dinda sahaja. Ini kanda yang nakal kadang merajuk sesuka hati dan kembali tersenyum padamu. Ini kanda yang kadang buat dirimu sebal dan meminta maaf tanpa sebab dan tujuan nan jelas. (Sebenarnya, tujuannya ialah biar dirimu baik lagi padaku). Ini kanda, dinda. Kanda yang sering jahil membuatmu rasanya ingin memukulku jika ada di sampingku. Engkau ingat tak? saat tanyakan sedang apa diriku? saat ku jawab bahwasanya aku memikirkan seseorang?
Kemudian engkau tanyakan kebolehanmu untuk cemburu pada orang yang aku pikirkan. Ingatkah dirimu akan pertanyaanku kemudian. “Kenapa engkau cemburu, adakah dirimu memikirkan diriku selama ini?” Maka, berjuta kata engkau sampaikan padaku. mulai dari kehilangan kosentrasimu dalam bekerja sebab hal memikirkanku. “Adakah benarnya?” (Aku pun tidak tahu pasti). Lalu, kau tanyakan sekali lagi “Bolehkah aku cemburu padanya? siapakah gerangan yang kanda pikirkan?”
Aku tersenyum hendak menjelaskannya padamu. memikirkan bagaimana reaksimu jika itu ku tulis. “Tidaklah boleh engkau cemburu padanya. sebab dia juga memikirkan aku katanya. Sungguh, Dirimulah yang aku pikirkan. Tidak akan ada yang lainnya.”
Mungkin engkau marah, Mungkin engkau sebal sebab ku kerjai. Sungguh, tak da niat pun aku menjahilimu, membuat engkau marah dan sebal. Hanya itu yang bisa aku lakukan membuat suasana agar seru jalannya. Ah, Aku semakin terkenang menuliskan ini. Apalagi saat mendengar ceritamu. Apalagi, saat ku tahu engkau tak bosan mendengarkan aku bercerita. Malah, engkau yang memintanya.
Aku semakin tak mengerti, saat aku dekat denganmu. Aku bertanya pada tuhan. Bukankah orang yang baik akan di dekatkan dengan orang baik pula. dirimu, keluarga berada rupanya. Keluargamu intelek semua, termasuk dirimu. Sementara aku, Apa? Aku hanyalah pemuda yang terombang ambing di tengah lautan tak berujung. Berharapa bertemu dengan orang yang akan sama-sama berjuang dengan ku. Tapi tidak ternyata. Aku dipertemukan dengan dirimu yang jauh lebih dariku. Dinda, aku berani kadang, menyalahkan tuhan yang telah membuat orang yang lebih baik bertemu dengan diriku... yang mungkin tidak sebaik dirimu.
Aku mungkin bahagia, bertemu dengan engkau yang jauh lebih baik dariku. Tapi engkau? apakah bahagia bertemu dengan diriku, yang jauh terpuruk darimu.?
Di lain sesi, pernah juga kau bilang nasihat untukku. Jangan merendah diri. Maka aku berpikir. ini bukan soal tinggi hati, rendah diri. Tapi aku menjelaskan fakta. Ditanyakan pada siapapun, engkau jauuh lebih. dariku. Namun, pertanyaanku kau jawab jua akhirnya. Meski tak ada aku tanyakan. Perihal bahagia, dan senang (Sttt! bahagia dan senang apa bedanya?) Akhirnya kau katakan bahwa engkau senang mengenali aku. Harapanku, kata-katamu itu bukanlah hanya untuk membesarkan hatiku. Tapi memang dari hatimu, barulah aku benar-benar bahagia.
Kita pernah berdebat masalah maaf. siapa yang memaafkan dan siapa yang meminta maaf. Kita tidak pernah bertanya siapa yang harus meminta maaf. Tapi kita selalu sama-sama minta maaf. Aku pernah bilang, “Tidak Ada kata maaf untukmu” saat engkau memintakan maaf padaku. Engkau bertanya kemudian, “Dengan apakah aku harus membayar agar ku dapat maafmu?” Maka ku jelaskan lagi, “Sudah ku katakan, tidak ada maaf untukmu. Sebab, tidak ada yang harus aku maafkan darimu. Jadi, percuma sahaja aku memberi maaf. Jadi, Akulah yang seharusnya meminta maaf.”
Kau bilang aku jahil. Engkau sebal lagi. Aku tersenyum lagi. Engkau merajuk lagi. Engkau izin untuk tidur. Maka aku sampaikan sebait lirik Drive “Bersama Bintang” yang aku rubah. untukmu,
“Tidurlah... Selamat siang... lupakan saja lah aku.... mimpilah... dalam tidurmu... bersama...”
Engkau bertanya, “Bersama Siapa?” lalu ku jawab “Bersama pilihan hatimu. Bintang kehidupanmu.” Engkau bertanya lagi, “Akankah kanda berharap itu dirimu?” Semakin ku terbuai dengan kata-katamu. Tak inginku menuliskannya iya. namun hati ini sangat berharap. “Semoga saja. Jika memang ditakdirkan itu. aku tak kan berharap lebih.”
Sesuatu yang kebetulan saja itu, apakah terjadinya sekali-sekali saja, berkali-kali, atau setiap hari. Kadang ku berpikir aneh. kenapa sesuatu yang aku rasa itu kebetulan sahaja terjadi berulang kali saat aku mengenalimu.
Siangnya, Omm Hen tanpa kabar lima tahun lamanya. Telah beristrikan seorang perempuan cantik, dan telah memiliki seorang anak. Secara kebetulan sahaja aku menemuinya pada sebuah taman. dan telah aku ceritakan padamu, yang aku bayangkan saat itu adalah sebuah masa lalu dan masa depan. Masa lalu, kala aku jadi anak laki-laki yang di pangkuan Om Hen. Masa depan, ialah aku kelak menjadi, Omm Hen. Akankah, dirimu menjadi perempuan yang disamping Ommku itu?
Berlanjut sorenya, engkau bercerita tentang dirimu di taman bunga. Sendirian. Engkau katakan engkau melihat sepasang kupu-kupu terbang di hadapan matamu. Engkau bilang cemburu pada mereka. Ah. “Andaikan Kanda juga di sini. pastilah Dinda tidak akan cemburu padanya.” begitu pesanmu padaku.
Aduhai... Buatmu, Dinda. Pengisi hari-hariku meski dari jauh sana. Aku di sini.
Aku jelaskan, Engkaulah orang pertama yang memanggilku Kanda. Engkau juga katakan pada malam itu. Aku orang pertama yang memanggilmu Dinda.



Ada saja yang berbeda saat kita bertutur bersama :)
Kamis, 17 Desember. Hari itu engkau ucapkan salam kembali kepadaku. Setelah kemarin engkau hendak undur diri untuk bercerita denganku. Mungkin engkau lelah waktu itu. Aku sangat mengertinya. sebab, sudah telalu sering kita bercengkerama lewat media ini. facebook. Maka Paginya, Engkau mulai kembali pembicaraan kita dengan permulaan yang tak bosan kita ulang-ulang. Salam, kemudian bertanya kabar.
Ternyata, kata-katamu kemarin memanglah benar dari hatimu. Engkau tidak akan meninggalkan daku untuk selamanya. hanya kira-kira sembilan belas jam kita tak berkabar. Kembali kau mulai cerita. Tahukah engkau, sebenarnya aku sudah jenuh untuk selalu membalas Chatingan yang kau kirimkan padaku. Takut akan Diabetes menggerogoti tubuhku saat menatap foto yang engkau kirimkan. senyummu itu lho, Amat manisnya. (hihihi)
Maka ku ketikkan dua belas digit angka yang nantinya bisa sebabkan engkau dengar suaraku. Semoga saja, engkau tidak diam dan aku pun bisa mendengar suaramu. Sungguh! Aku bosan dengan chatingan beberapa minggu berbilang satu bulan lebih ini. Chat yang engkau kirimkan itu, membuat rindu pada diriku semakin tebal. Rasanya, tak akan mudah terobati kecuali denganmu.
Kau ungkapkanlah bahwa sebenarnya engkau ingin menekan dua belas digit angka yang aku kirimkan itu. tapi urung. Kau berkata “Suatu saat.” Engkau menyuruh aku menahan rasa rindu ini. Apa? Rasa rindu? Kapan aku mengatakan perasaan itu kepadamu? Ah, Engkau tahu isi hatiku?
Engkau tak lupa jua mengirimkan dua kali dua belas digit angka kepadaku. dua belas digit pertama sebenarnya sudah aku cari pada riwayat facebookmu. Setelah menunggu beberapa hari, Rindu itu engkau tepis juga sedikit demi sedikit. Meski tidak semuanya. Kita mulai saling berbicara.
Selalu aku tak lupakan ucapan itu setiap memulainya. mulai bicara, memulai chat (Sekali kadang juga lupa) Maka ku dengarkan jawaban dari suaramu yang seperti anak-anak. Membuatmu kembali sebal saat ku katakan itu. “Suaranya mirip anak-anak,” Engkau tertawa, engkau merengek. Membalas mengatakan bahwa suaraku seperti suara bapak-bapak. (Berarti tidaklah apa-apa. Seorang anak siang itu baru saja berbicara dengan anaknya yang jauh disana) Hahahaha.
Nah, Yang aku kirakan itu ternyata sedikit jauh berbeda adanya. Ku kirakan rindu ini akan tertepis saat mendengar suaramu... berbicara padaku, bernyanyi untukku, panggilan kanda yang mungkin spesial. Hanya untukku. dan... Ah, Semua itu tidak membuat rinduku hilang. Tapi malah menjadi jadi. Dulunya, saat Chating, Aku rindu suaramu, Maka saat di telepon, aku rindu... Ingin bertemu kamu.
Kembali pada dinding chat yang tak akan kita tinggalkan. Sebab itulah dinding pertama kita berkenalan. Engkau kembali bercerita tentang cerah disana, tentang hujan juga tak lupa. Dan, perasaanmu juga tak lupa engkau curahkan.
Kau katakan disana sejuk udaranya. Engkau katakan seharusnya aku ada di sana bersamamu menikmati udara itu. menikmati pemandangan itu. Ah, tahukah engkau? Itu membuatku semakin rindu menggebu-gebu. Apalagi, jika memang dari hati engkau mengatakannya. Pastilah aku teramat inginnya.
Lalu, kenakalanmu itu. menggemaskan sekali. Hari dingin tak pakaikan baju berkain tebal. sudah jelaslah masuk anginnya. lalu, engkau ajak si kecil yang memanggilmu mama bermain hujan. “Sakit baru tahu.” Tapi, kenakalan itu sungguh kau balut dengan permintaan maaf lagi. Ku tolak lagi maafmu. Ku jahili lagi. Tertawa lagi kitanya. Ah, “Tak terbayang mesranya,” katamu.
Mesra? Ah, ia kah? Dalam jarak saja kita masih bisa saling berbagi tawa. Bagaimana jika bertemu nanti? “Sangat tidak terbayangkan.”
#Ah!
Tak akan penat tangan ini menulis jika sajak masih saja tertera di bumi ini. Tak akan sampai lelahnya, jika kisah aku masih bersamamu. Hingga detik terakhir ku dengar suaramu. Bahkan hingga hilangpun, cerita itu akan terus menari-nari di panggung dunia ini. Bagai syair indah yang dinyanyikan. Syair itu akan kita nyanyikan meski musiknya telah terhenti.
Ya, semusim berganti. selaut terengkuh kembali. meski belum sampai aku pada puncak-puncaknya, tapi aku merasa berada pada puncaknya. Itu, saat kita bercerita. Itu, saat engkau tertawa, Dan itu... Saat dikau terdiam.
Rasanya, telah lama Tak Aku panggil engkau, Bunga. Sementara baru saja dirimu menyentuhku dengan sebutan Kumbang. Ah, kemana saja aku sebagai kumbang? Tak pengertian pada bunganya. Maka ku tanyakanlah bagaimana kabar bungaku. Sedang apakah dia? Engkau berbalas bahwa baiknya kabar bunga dan engkau katakan bahwa engkau baru saja berhias. memakaikan rias pada wajahmu. Mendengar itu saja, Aku tak bisa bayangkan cantik dirimu.
Maka malam itu ku puji dirimu “Tanpa Berhias saja dirimu aduhai. Apalagi tidak berhias, Duhai bunga.” begitu tuturku. Engkau membalas dengan permintaan lain “Jangan dipuji bungamu seperti itu kanda. Sungguh, Bungamu sangat ingin mendengar sesuatu yang belum pernah ia dengar, Apakah itu? yaitunya pujian tentang kekurangan dirnya.”
Aih. Aku tidak bisa mengucapkannya. Sebab yang aku lihat tak ada cela sedikitpun tercoreng di dahimu. Tapi, jika tak aku balas, takutnya kau akan bertanya lagi berikutnya. Maka simple jawabanku. “Dirimu telah mubazir, Dinda.”
Engkau bertanya lagi, “Mubazir kenapa?”
“Ya. seperti yang daku katakan tadi. Dirimu sudah cantik aduhai. masih juga memakai Make up yang banyak dipakai orang untuk mempercatik dirinya. bukankah itu mubazir bagi dirimu yang sudah cantik adanya. Maka tak ada, lah gunanya engkau berias. Engkau sudah cantik, Bungaku.”
Maka kau kirimkan emotikon senyum. mungkin tersipu malu dengan kataku. Hahaha. aku tertawa. Saat temanku membaca kalimatmu. “Bukakah di sini maknanya Caci saja aku, bang” ungkapnya padaku. Disana aku balik berpikir akan kebenarannya. membaca kembali berulang-ulang. “Pujian tentang kekurangan dirnya” Tidak sadar akan makna itu. Maka aku berpikir. “Mana pernah ada Kumbang mencaci Bunganya.”
Ah, Jika begitu, tak akan aku sebutkan. Sebab tak ada yang harus aku sebutkan.
...
Saat engkau hendak tidur. Katamu. Kau tuliskan sebuah pesan,
“Dinda Akan tidur, Kanda. Adakah sesuatu yang ingin engkau katakan padaku? Sesuatu yang spesial yang masih kau pendam.”
Sebenarnya, ingin kukatakan sesuatu yang amat kau mengerti mungkin. tapi urung ku katakan. karena aku sadar siapa aku dan siapa engkau. Biarlah angin yang akan menyampaikannya pada relung hatimu. Biar waktu yang menjelaskan apa yang aku ingin sampaikan padamu
(Aku Mencintaimu. Aku sangat menyayangimu. Ku tak ingin ada penggantimu dan tak ada penggantiku dalam dirimu)
Akankah kau mengerti, tanpa aku katakan semua itu?
Kadang Ada yang menangis. Merasa tertinggalkan. Namun memilih diam saat melihat orang yang meninggalkannya bahagia.
Saat dindingnya tak lagi di isi tawa dan canda, berbagi rindu oleh dua insan tersebut. Beralih pada saling suara. Kita terkadang tidak sadar itu.
Lihatlah! dulu betapa rajinnya kita mengisi dindingnya dengan kata-kata. Memang tidak secara langsung kita katakan rindu. Tapi, melalui sepasang kupu-kupu yang mencemburui, lewat langit yang terkadang tiris, lewat sepasang kekasih beserta anaknya, juga lewat langit cerah tentunya.
Berulang kali kejadian itu terulang. Atau entah apa yang dapat dikatakan tentang hidup ini. Muncul pertanyaan dalam hidup ini. “Sesuatu yang kebetulan itu, wajarkah terjadi berulang kali?” ibarat seorang penjudi amatir menang dalam suatu moment pertandingan berjuta-juta bahkan miliaran hadiahnya. membuat penjudi ulung ternganga dan tercengang. membuat langit yang dulunya biru agak kelabu warnanya. Disini beda. Bukan penjudi sejatinya. Namun para pujangga yang juga punya cerita bersabda. “Ini kisah pertama yang aku dengar. Dua orang insan secara berjauhan memiliki ceirta seperti itu. Aku tidak percaya.” Namun bagaimana lagi. Percaya atau tidak, semua begitu adanya. Pujangga hanya tersenyum malu. mengungkapkan ini sebuah ketidak adilan bagi tuhan. “Diri ini telah lama mengelana belumlah dapat cerita itu. sementara ia yang baru beberapa musim menyeduh kopi cinta telah mendapat biji kopi yang aduhai. Mungkin saripati mulanya sangatlah bagus.” begitu jelasnya.
Saripati pemula? Ya, aku rasa memang begitu. Saripati pemula yang kita masukkan ke dalam gelas mungkin itu yang membuat kita bercerita indah. Lihatlah! Takarannya begitu pas. Air panas yang dimasukkan juga tidak membuat retak sisi gelas. Untuk diseduh juga tidak membuat bibir sakit menikmatinya.
Nah, Kembali pada dinding yang cemburu. Aku tak dapat katakan ia cemburu sebenarnya. Sebab dirimu tak akan mengerti. Dan, sekalipun pasti tak mengerti. Dia juga telah rela untuk bersih kembali. “Masa lalu itu indah untuk dikenang,” simpulnya. Maka ia berjanji untuk tidak menghilangkan kenangan-kenangan kita di dindingnya. tentang cara kita bercengkerama yang amat romantisnya.
Aku masih merindu di sini. Sama seperti rindunya dinding itu di isi kalimat-kalimatmu, dan kalimat-kalimatku. Berujung pada desakan kepada waktu agar cepat menambah usia. Agar lekas pulalah kita bertemu. #Harapku